Jumat, 26 Desember 2008

Sejarah Konvensi Hak Anak (KHA)

Kata konvensi hak anak atau yang lebih dikenal dengan singkatannya KHA banyak orang yang sudah pernah dengar dan tahu terutama bagi orang-orang yang mempelajari tentang hukum. Lantas, bagi kita orang-orang yang tidak mempelajari hukum tahu ga sih artinya ? atau jangan-jangan belum pernah dengar dengan kata tersebut. Untuk itu mari kita simak semua dalam tabloid NIAT edisi kedua ini, karena kita akan mengupas semua tentang kata konvensi hak anak tersebut.

Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treaty (traktat atau pakta), merupakan perjanjian diantara beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis dan politis. Oleh karena itu, konvensi merupakan suatu hukum internasional atau biasa juga disebut sebagai ‘instrumen internasional’. Konvensi Hak Anak adalah perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis diantara berbagai negara yang mengatur hal – hal yang berhubungan dengan hak anak.

Gagasan mengenai hak anak bermula setelah berakhirnya perang dunia I sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak – anak, para aktivis perempuan dalam pawai protes mereka membawa poster – poster yang meminta perhatian publik atas nasib anak – anak yang menjadi korban perang.

Salah seorang diantara para aktifis perempuan tersebut, Eglantyne jebb, kemudian mengembangkan 10 butir pernyataan tenteng hak anak. Pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak di adopsi secara internasional oleh Liga Bangsa – Bangsa. Deklarasi ini dikenal juga sebagai “deklarasi jenewa”.

Pada tahun 1959, Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak, merupakan deklarasi internasional kedua. Lalu pada tahun 1979, saat di canangkannya “Tahun Anak Internasional”, pemerintah polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak – hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal mula perumusan tentang Konvensi Hak Anak.

Tahun 1989, rancangan konvensi hak anak diselesaikan, dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB (tanggal 20 november). Rancangan inilah yang kita kenal sebagai Konvensi Hak Anak (KHA) seperti yang kita kenal sekarang ini. Kemudian, indonesia meratifikasi KHA dengan keputusan presiden No. 36/1990 tertanggal 25 agustus 1990. Tetapi KHA berlaku di indonesia mulai 5 oktober 1990, sesuai pasal 49 ayat 2,”Bagi tiap – tiap negara yang meratifikasi atau yang menyatakan keikutsertaan pada konvensi (Hak Anak) setelah diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutseraan yang keduapuluh, konvensi ini akan berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan dari negara yang bersangkutan”.

Nah, sekarang sudah mengerti belum kamu-kamu semua tentang KHA (Konvensi Hak Anak). Ternyata sejarahnya cukup lumayan panjang yah untuk mencapai draft akhir tentang konvensi hak anak. Dan yang pasti setelah kamu semua mengerti tentang KHA, jangan lupa yah bahwa kita sebagai seseorang yang lebih dewasa (19-keatas) dari pada anak-anak punya kewajiban untuk menjalankan prinsip-prinsip tentang KHA yaitu menghormati seorang anak sebagai manusia. Dan kamu-kamu semua yang masih berusia anak (0-18) harus tahu bahwa seorang anak itu punya hak yang harus di hormati oleh orang dewasa seperti orang tua, kakak, dsb. Mudah-mudahan kalian semua pada paham yah pengertian dari Konvensi Hak Anak (Sumber : buku pengertian KHA, Unicef)









BUTIR KE 2 KONVENSI PBB TENTANG HAK ANAK

2. MEMPEROLEH PERLINDUNGAN DAN PERAWATAN SEPERTI UNTUK KESEJAHTERAAN, KESELAMATAN DAN KESEHATAN.

Artinya, setiap anak yang ada didunia ataupun khususnya di indonesia berhak di lindungi dari hal – hal yang mengancam dirinya. Inilah yang menjadi peran orang tua atau lebih umumnya orang dewasa, bagaimana caranya supaya seorang anak itu benar-benar harus terlindungi dari mara bahaya yang bisa mengancam dirinya. Kita harus mulai peran ini dari lingkup yang paling terkecil yaitu di keluarga. Bagi kita yang menjadi orang tuanya atau yang menjadi seorang kakak harus berperan melindungi sang adik bagi seoarang kakak atau sang anak bagi orang tua . Di zaman sekarang ini sedang marak-maraknya seorang anak dibiarkan tentang keselamatannya. Coba kita lihat anak-anak yang ada di jalanan. Tanpa dipedulikan tentang keselamatannya, mereka teman-teman yang di jalan menjadi rentan terhadap suatu hal yang mengancam dirinya. Jika hal ini dibiakan begitu saja berarti kita yang sadar melihatnya dan tahu, telah melanggar tentang konvensi hak anak butir ke dua ini, karena kita membiarkan masalah tersebut terjadi. Kalau sudah seperti itu berarti kita namanya sudah tidak menghormati seorang anak sebagai manusia. Dan hak-haknya terabaikan begitu saja tanpa ada rasa tanggung jawab. Dan karena itulah peran kita sebagai orang dewasa harus membantu seorang anak jika melihat suatu kejadian di atas. Dan inilah peran yang paling ideal yang harus dijalankan oleh orang dewasa. Bagi kamu-kamu semua yang belum memahami tentang isi butir-butir KHA, mungkin harus segera mempalajarinya. Daripada nanti malah kamu yang akhirnya membiarkan hak seorang anak terabaikan. Apakah kamu mau dirimu seperti itu? Semoga kamu bukan salah satu orang yang tidak menghormati hak anak yah.....! Kaminah

Kamis, 11 Desember 2008

Worskhop Sastra di Sanggar Akar

Sudah lama saya ingin mengisi kuliah di sanggar akar dengan kegiatan workshop Sastra. Ide ini sempat saya lontarkan pada Ibe Karyanto yang lebih dikenal di kalangan anak-anak akar dengan panggilan “Uwak” lebih dari setahun lalu. Akan tetapi rencana ini cukup lama tenggelam meski dan baru terlaksana menjelang ulang tahun akar ke-14. Saya bukanlah orang yang tahu sastra. Saya hanya merasa membaca cukup banyak karya sastra. Dari situlah saya belajar banyak. Ada begitu banyak novel dan penulis yang saya sukai. Beberapa novel juga memberi inspirasi dalam hidup saya, menemani saya pada saat harus berjuang dalam kesepian.

Sebagai seorang jurnalis saya belajar banyak dari sastra. Di rumah saya membiasakan anak saya, Oxi, membaca sejak kecil. Sejak kelas 5 SD, ia saya perkenalkan dengan karya sastra. Barangkali ia belajar lebih banyak dari kegiatan membaca di rumah daripada yang ia peroleh dari bangku sekolah.

Saya menggunakan pendekatan literasi kritis dalam workshop ini. Literasi kritis hanya dibicarakan sedikit orang di Indonesia. Padahal pendekatan ini cukup populer, termasuk di negeri-negeri kapitalis seperti Amerika Serikat dan Australia. Literasi kritis membantu kita untuk tidak sekedar membaca teks tetapi juga menelaah secara kritis bagaimana teks itu dikonstruksi dalam relasinya dengan kekuasaan.

Dalam workshop ini saya menggunakan novel “Sekali Peristiwa di Banten Selatan” karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini saya pilih karena ini merupakan salah satu novel Indonesia yang bagus, ditulis oleh sastrawan yang hebat, dan bukunya relatif tipis. Pilihan ini saya ternyata cocok dengan anak-anak yang mengikuti workshop ini. Sekitar 15 anak ikut dalam workshop ini. Ada yang masih berumur 13 tahun, ada yang sudah lulus SMA.

Workshop ini terbagi dalam tiga sesi. Sesi terakhir akan diisi dengan pembuatan blog. Pada sessi pertama, saya awali dengan berbagi cerita mengenai novel yang paling menarik yang pernah dibaca. Saya senang sekali bahwa hampir seluruh anak sering membaca buku. Mereka bisa bercerita tentang novel-novel yang menurut mereka paling menarik. Ada Harry Potter, Laskar Pelangi, bahkan ada beberapa anak yang sudah membaca sejumlah buku tetra lurgi Pramoedya Ananta Toer. Ini berbeda sekali dengan pengalaman saya mengajar di sebuah universitas swasta di Jakarta maupun dalam diskusi dengan komunitas jurnalistik di sebuah SMA Negeri paling top yang ada di Jakarta. Mereka jarang membaca buku. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengenal Pramoedya Ananta Toer.

Setelah berbagi pengalaman, anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok. Di tiap kelompok anak-anak bergantian membaca keras-keras bab pertama dari novel Banten Selatan. Tujuannya utamanya adalah supaya anak membiasakan membaca sampai selesai bab pertama. Biasanya, bab pertama adalah bagian yang tersulit bagi mereka yang belum terbiasa membaca buku. Karena itu dalam pembelajaran sastra, ada baiknya bab pertama dibahas bersama-sama. Setelah anak-anak selesai, kami mendiskusikan bab pertama. Mereka bilang bahwa buku ini mudah dibaca, bahasanya mudah, dan hidup. Kami juga mendiskusikan tentang kharakter utama dalam buku ini. Sessi ini diakhiri dengan tugas. Setiap anak diminta menulis berita, tinjauan buku, cerpen, atau naskah drama dari bagian buku ini.

Dalam pertemuan berikut, anak-anak membawa karya yang ditulisnya. Ada seorang anak yang menulis naskah drama. Kami mulai sessi kedua dengan mendiskusikan isi buku dan membahas bersama apa yang ditulis anak. Di sini anak diajak mengungkapkan pendapat mereka tentang tokoh-tokoh utama maupun isi cerita. Mereka mengidentifikasi Musa sebagai juragan yang jahat, berkong-kalikong dengan gerombolan dan pak lurah untuk menindas petani. Mereka bersimpati kepada Ranta dan isterinya Ireng, petani miskin yang tertindas. Akan tetapi mereka belajar bahwa mereka tidak menyerah. Petani-petani itu berani melawan penindasan, tidak dengan amok kekerasan, tetapi dengan strategi yang baik dan akhirnya menang.

Ada tiga aktivitas utama dalam kegiatan tersebut. Membaca, berbicara di depan umum, dan menulis. Inilah tiga aktivitas utama dalam komunikasi yang menjadi kelemahan anak-anak sekolah.

Sessi kedua diisi pula dengan belajar menulis deskripsi dan narasi. Anak-anak saya minta menuju ruangan di kompleks sanggar yang paling berkesan bagi mereka. Mereka saya minta mengamati dan merekam dengan pancaindra mereka. Ketika mereka berkumpul kembali, saya minta mereka bernapas seperti lebah dan kemudian terbang sebagai seekor lebah. Dengan suara mendengung mereka terbang di atas Kali Malang, melihat sanggar dari atas, kemudian masuk ke dalam kompleks sanggar Akar, dan mencari ruangan yang paling mereka sukai. Selesai mengamati mereka terbang lagi ke luar sanggar, masuk lagi, dan kembali bersatu dengan tubuh mereka. Cara ini akan membantu kita dalam mendeskripsikan dan menceritakan sesuatu. Deskripsi dan narasi merupakan kelemahan utama penulis di Indonesia, baik itu jurnalis maupun novelis.

Ini merupakan beberapa contoh karya yang ditulis anak-anak dari “reportase” Pramoedya yang ditulis dalam buku Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Menurut saya, tulisan-tulisan ini cukup bagus. Bila anak-anak ini rajin membaca, terus-menerus menulis, mereka pasti akan menjadi penulis-penulis yang tangguh. (P Bambang Wisudo)

Cerpen
MAU HIDUP ENAK, MAKANYA BERJUANG ...

Kabut hitam telah menyihir gumpalan-gumpalan awan putih bersih menjadi beberapa kumpulan awan yang berwarna hitam kelabu. Dinginnya udara pegunungan semakin menusuk-nusuk tulang. Dari jauh nampak sebuah pegunungan yang dipadati oleh pepohonan yang tinggi, tetapi tidak terlihat jelas karena selimut tebal kabut hitam. Sesekali angin datang untuk menyampaikan suara deburan ombak yang berasal dari laut Hindia.

Di balik selimut tebal kabut nampak samar-samar sebuah gubuk reot. Gubuk tersebut bertiangkan bambu yang sudah lapuk. Atapnya daun rumbia. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sana-sini sudah mulai berlubang dimakan rayap. Lantai tempat mereka berpijak adalah sebuah lantai alami yang tak akan didapatkan pada zaman sekarang yaitu lantai tanah. Gubuk reot itu hanya dihuni oleh sepasang suami-istri, yaitu Ranta dan Ireng.

Nampak dari kegelapan dua orang pemikul singkong hendak menuju truk-truk dari kota memunggah singkong. Kedua pemikul singkong itu bernama Aden dan Melki. Mereka berdua sama-sama menggunakan celana hitam selutut dan bertopi capio. Sesampainya di pondok milik Ranta mereka berdua berhenti untuk istirahat dan minum sedikit air sebagai penghilang dahaga.

Aden : Rupanya mau hujan lagi ya ?
Melki : Iya, seandainya saja kita punya gerobak!
Aden : GEROBAK!!! Yang benar saja kau ini kalau bicara.
Melki : Dulu jalan ini kita yang buat, tapi apa sekarang, masa mau lewat jalan buatan sendiri saja mesti bayarpajak pada Onderneming, padahal ini kan jalan kita sendiri.
Aden : udah jangan kebanyakan omong, nanti keburu ujan lho,

Mereka berdua segera menghilang dari pondok Ranta. Tak berapa lama Ranta sampai dirumah turunlah hujan. Ranta yang sedang duduk di bale segera menurunkan kakinya ketika mendengar suara seorang perempuan yang sudah tak asing lagi baginya. Ireng, itulah istri Ranta,

Ireng : Sudah pulang pak? Tak ada hasil!
Ranta : Sapinya sudah dijualkan kepada orang, bagaimana dipasar tadi?
Ireng : Pasar kacau, diobrak abrik DI.
Ranta : Dia lagi.........

DI atau Darul islam adalah sekelompok manusia yang tak berkeprimanusian. Merekalah yang selalu meresahkan warga desa Banten Selatan. Pada saat mereka sedang asik berbincang-bincang tentang DI, datanglah juragan Musa. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia datang untuk menyuruh Ranta mencuri bibit karet milik ondermining, dengan upah uang seringgit. Jam sebelas malam Ranta pergi untuk melancarkan pekerjaanya. Setelah beberapa kali bolak-balik Ranta mengantar curian bibit karet untuk juragan Musa. Pada saat Ranta ingin meminta sisa upah atas pekerjaan yang dilakukannya itu, ia malah di pukuli dengan rotan dan mereka juga merampas pikulan dan golok milik Ranta. Pada saat Ranta kembali kerumahnya , Ranta di sambut oleh Ireng dan kedua pemikul singkong. Setelah keadaan Ranta sedikit membaik, mereka berbincang-bincang tentang kekejian juragan Musa. Beberapa hari kemudian setelah perbincangan itu, kedua pemikul singkong itu membawa teman 1 lagi yang bernama Isa untuk berunding bagaimana caranya untuk menghancurkan kekejian juragan Musa.

Tak begitu lama ketiga penjual singkong itu pergi datanglah juragan Musa dengan aktentas dan tongkat yang selalu dibawa kemanapun ia pergi. Seperti biasa ia datang untuk meyuruh Ranta mencuri bibit karet lagi. Awalnya tidak ada jawaban. Akhirnya Ranta muncul dengan geramnya menghadapi juragan Musa.
Perlawanan dari Ranta membuat juragan Musa lari tunggang kanggang sampai aktentas dan tongkatnya jatuh. Ia tersungkur diatas tanah. Ketiga pemikul singkong itu kembali dan mulai berdiskusi mau diapakan aktentas dan tongkat itu. Lama mereka berunding dan menghasilkan keputusan untuk memberikan aktentas tersebut sebagai barang bukti penangkapan juragan Musa. Ranta, Ireng, dan ketiga penmikul singkong, mereka pergi bersama-sama menghadap komandan.

Juragan Musa menyuruh anak buahnya untuk menghabisi Ranta dan mengambil aktentas dan tongkat yang tertinggal. Bila perlu bakar saja rumahnya. Tapi tindakan juragan musa terlambat karena Ranta dan yang lain sudah sampai di markas komandan. Komandan pun juga sudah menyusun rencana penangkapan Juragan Musa. (Watik)

Diolah dari:
Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Pramoedya Ananta Toer

Berita

Kerusuhan ‘DI’ berakhir, Warga Arep Tangi pun bangkit

Kerusuhan yang terjadi di wilayah Banten Selatan kini sudah menemukan titik cerah. Upaya penangkapan dalang dari kerusuhan dan penindasan terhadap warga Kelurahan Arep Tangi akhirnya dapat berjalan dengan baik. Komandan dan gerombolan prajurit meringkus Juragan Musa (40 thn) pada Rabu (15/10) malam di kediamannya di desa Arep tangi, setelah terbukti terlibat sebagai dalang kerusuhan dengan bendera Darul Islam (DI) yang selama ini menikam rakyat.

Penangkapan terhadap Juragan Musa itu kemudian disusul dengan penangkapan anggota-anggota pemberontak yang tergabung dalam sindikat pemberontak Darul Islam. Penangkapan ini menjadi akhir dari pencarian aparat keamanan selama kurang lebih 8 tahun yang dahulu nyaris tanpa hasil. Terbongkarnya sindikat ini didasarkan dari informasi seorang warga setempat yang juga menjadi korban.

“Kami memang kesulitan menangkap pelaku kerusuhan ini karena tidak ada bukti yang jelas, tetapi akhirnya kami mendapat informasi dari seorang korban beserta bukti berkas-berkas terkait kerusuhan DI yang sudah lama melanda kelurahan ini. Bukti-bukti ini menjadi acuan kami untuk mengadakan penyelidikan dan akhirnya menangkap oknum kejahatan tersebut” ungkap Komandan.

Tidak berhenti sampai disitu, ternyata aparat pemerintahan desa seperti Lurahpun juga terbukti terlibat dalam sindikat kerusuhan DI. Karena keterlibatan itu, maka Komandan mengambil tindakan untuk menempatkan Lurah sementara dari warga setempat.

Akibat perbuatan mereka itu, tidak hanya bangunan desa seperti pasar, kebun, rumah warga yang porak-poranda setelah di obrak-abrik oleh sindikat DI. Mereka juga melakukan tindakan kriminal yang merugikan masyarakat, seperti aksi-aksi kekerasan. Warga dipaksa hidup dalam ketakutan, terselubung dalam kemiskinan dan tidak berdaya.

Warga desa Arep Tangi saat ini terlihat mulai bangkit. Mereka mulai bergotog-royong memperbaiki fasilitas-fasilitas desa seperti jalan, pasar , serta membuka lagi saluran air untuk kebutuhan irigasi sawah dan kebun yang selama ini dikuasai oleh juragan-juragan tertentu saja. Mereka bahu-membahu membuat waduk untuk pemeliharaan ikan dan membuka perladangan untuk menanam duren dan kelapa untuk kebutuhan bersama. Warga desa yang sebagian besar hanya mengenal pacul dan sawah inipun juga telah tergerak untuk memulai mengenal baca tulis untuk kebutuhan masa depan.

Saat diwawancarai mengenai pembangunan desa, Ranta (39 thn) selaku Lurah sementara menjawab,
“ Kami memang sudah mulai bertekad untuk memperjuangkan kehidupan yang sejahtera, melawan kemiskinan dan keterpurukan kami selama ini melalui gotong royong membangun desa, karena tanpa sumbangsih kita bersama, sekalipun nasib akan memberi kita umur tiga kali lipat dari semestinya keadaan akan tetap beku, karena segalanya mesti diperjuangkan”.
Itulah suara yang mewakili warga desa Arep Tangi sebagai wujud rasa syukur karena terlepas dari cengkeraman pemberontak. (Saneri)

Naskah Drama
ADEGAN 1
Suatu sore yang amat mendung. Sebuah gubug yang terletak di kaki gunung di desa Arep tangi tampak gelap dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air kali dari kaki gunung dan suara burung. Tinggi gubuk yang dihuni ranta dan istrinya ini tidak lebih dari dua meter. Letaknya membelakangi sebuah bukit yang belum pernah digarap manusia. Pohon-pohon raksasa tumbuh dengan liarnya disertai semak-semak padat dibawahnya.
Ranta : (sambil mengetok pintu)
Reng, Ireng! Reng!!!
(Tidak terdengar jawaban, ranta akhirnya duduk di bale depan gubuknya. Dari kejauhan irengpun datang menghampiri ranta)
Ireng : Sudah pulang pak?
Ranta : Iya ( sambil terlihat mengeluh)
Ireng : Kenapa? Tidak ada hasil?
Ranta : Samasekali ga ada bu. O ya, gimana tadi dipasar?
Ireng : (tampak menahan lelah) Pasar kacau balau pak, diobrak-abrik DI.
Ranta :Ya ampun, gimana kita bisa pergi ke kota, nengok si Agil di rumah sakit, kalau kita tak punya apa-apa begini bu?
Ireng : (sambil mulai berkaca-kaca) Aku bingung pak. Aku ga mau kehilangan anak untuk ketiga kalinya. Tapi kalo kaya gini terus, si agil bisa ikut ga ada pak.
Ranta :Ya udah, Bu. nanti kita pikirkan lagi. Kita masuk dulu,ada yang ingin kubicarakan.
Ireng : (Ireng membukakan pintu dan masuk bersama Ranta)

(Di dalam rumah, sambil duduk di ambin dibawah cahaya damar atau lampu minyak, ranta menceritakan sesuatu kepada istrinya )

Ranta : Begini, Bu. Tadi aku ketemu Juragan Musa. Malam ini aku akan berangkat mengambil biji karet lagi sesuai dengan perintah juragan. Dia hanya memberiku ini. (sambil mengulurkan selembar uang)
Ireng : Seringgit?? Kalo aku laki-laki, sudah kutekuk batang lehernya. Kau yang selama ini baik dipaksa menjadi pencuri terus-menerus. Aku tak rela pak.
Ranta : (Sambil memegang tangan Ireng) Dengar Reng, aku memang sering nyolong tapi bukan karena kemauanku aku jadi maling. Ada waktunya, kita akan hidup baik dan senang. Sekarang in mereka yag tentuka hidup kita. Mereka!!
Ireng : Mereka siapa? Mereka siapa pak? (sambil memelas)
Ranta : Mereka yang datang pada kita hanya menyuruh kita menjadi maling. Mereka yang hidup memisah dari kita. Mereka, yang di dalam otanya cuma ada pikiran mau memangsa sesamanya. Mereka!!! (Sambil mengangkat tangan dengan telunjuk yang tak jelas arahnya)
Ireng : (Sambil menangis rintih) Cukup pak, Cukup..kumohon jangan pergi.
Ranta : ( Sambil berjalan menuju pintu) Doakan aku Reng, aku harus pergi sekarang.

(Ranta pun berjalan keluar dan menutup pintu, sementara Ireng tetap terduduk di atas ambin tak berdaya)

Tinjauan Buku

Sekali peristiwa di Banten Selatan
Pramoedya Ananta Toer

Sejak pertama saya sebenarnya berminat membaca buku ini. Tapi kurang mengerti dengan bahasanya. Lagian saya juga memang jarang baca buku-buku berat selain komik tentang kartun atau cerita lucu. Saya juga tidak pernah menulis resensi atau sejenisnya karena saya hanya belajar menulis di kelas bahasa Indonesia di sanggar. Kebetulan saya juga tidak sekolah formal.

Bbuku yang saya baca ini menceritakan tentang ada sebuah keluarga dengan kepala keluarga bernama Ranta dan istrinya Ireng. Dia keluarga yang miskin. Karena kemiskinan tersebut, Ranta dipaksa menjadi maling suruhan Juragan Musa.

Saat melakukan perintah Juragan Musa untuk mencuri bibit karet, bukannya mendapat upah, Ranta justru babak belur karena tertangkap oleh penjaga ladang karet juragan Musa. Juragan Musa sengaja menyuruh ranta menjadi pencuri supaya dia dapat mengeluarkan Ranta tanpa membayar gaji selama bekerja di ladang karetnya.

Kemudia di suatu hari setelah kejadian itu, juragan musa kembali mendatangi Ranta. Rantapun menunjukan rasa marah hingga membuat juragan musa pergi ketakutan. Saat dia lari, tas dan tongkatnya tertinggal didepan rumah Ranta. Dalam tas itu ada barang bukti bahwa juragan Musa selama ini bekerja sama dengan rombongan DI atau darul islam yang merusak kampung. Kemudian ranta menyerahkan tas tersebut kepada Komandan. Akhirnya juragan musa tertangkap dari bukti-bukti dalam tas milik jurangan.

Karena kejadian itu, Ranta diangkat jadi lurah. Kemudian warga bekerjasama membangun desa dan belajar baca tulis. (Sania)

Tinjauan Buku

Judul : Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Pengarang : Pramoedia Ananata Toer
Penerbit : Lentera Dipantara

Saya memang tidak membaca keseluruhan. Saya hanya membaca penuh pada bab pertama dan terakhir. Bab-bab yang lain dibaca dengan loncat-loncat. Dengan itu saya berusaha menyimpulan cerita dalam buku ini.

Buku ini bercerita tentang peristiwa di sebuah kampung yang kaya akan sumber daya alam tapi masyarakatnya miskin. Mereka kesulitan untuk bekerja karena banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang disebabkan oleh pemberontakan Darul Islan (DI). Kampung yang sebagian besar penduduknya hidup dari lahan pertanian ini selalu diselimuti rasa ketakutan dan tidak berdaya.

Salah seorang warga yang juga sering menjadi korban ketidakberdayaan ini ialah Ranta. Dia sering dipaksa menjadi maling bibit karet oleh juragan Musa yang sebenarnya terlibat juga dalam persekutuan DI.

Akibat kerusuhan itu, rumah-rumah penduduk dan pasar menjadi rusak. Hingga akhirnya kerusuhan ini berakhir karena tertangkapnya Juragan Musa sebagai otak persekutuan DI dengan bukti yang ditemukan Ranta pada tas Juragan musa yang tertinggal di depan rumahnya. Setelah itu, rantapun diangkat menjadi Lurah.

Nah, gimana prosesnya? Terus gimana nasib desa selanjutnya, baca aja buku ini. (Eta)

MENGENAL PENDIDIKAN ANAK PINGGIRAN

Dunia Anak - Liputan Khusus

KOMPAS, Selasa, 24-07-2001.

KEPERCAYAAN Heru Yuli Pambudi (17) pada sistem di sekolah formal
sudah lama pupus. "Sistem itu membuat kotak-kotak dan jenjang
kemampuan, dan memenjarakan kita ke dalam cara berpikir yang sudah
ditentukan." Heru melanjutkan, "Pendidikan formal yang pernah saya
ikuti tidak pernah memenuhi apa yang diingini seorang anak. Guru di
kelas lebih banyak menjejalkan apa yang sudah dipaketkan daripada
mengajak kita bicara dan memahami bagaimana situasi murid."

Lebih jauh lagi, "Kita tidak bisa mendebat pendapat guru, karena
beradu argumentasi selalu diartikan melawan. Di kelas, guru selalu
benar," ujar Heru. Tak cuma itu. "Dunia pendidikan formal di kelas
tidak mengajar anak memahami satu sama lain, sehingga kita menjadi
asing satu sama lain. Tidak ada model solidaritas di sini, dan sulit
untuk membentuk solidaritas karena sudah ada kotak-kotak itu," tegas
anak pertama dari empat bersaudara itu.

Heru menyebut bentuk-bentuk diskriminasi sudah tampak dari
pengistilahan yang dibuat entah oleh siapa, seperti "sekolah
unggulan". Menurut Heru, "Kalau ada sekolah unggulan, pasti ada
sekolah buangan. Sekolah unggulan juga pasti mengacu pada semua yang
serba unggul, ya kecerdasan, ya ekonomi orangtua. Lalu yang buangan
ya sekolah yang isinya anak-anak seperti kami ini, anak-anak miskin
yang bayar sekolah saja susah."

Apa yang dikemukakan Heru tidak bisa dilihat sebagai sikap
antipati terhadap dunia pendidikan formal. Heru adalah satu dari
jutaan anak yang terlempar dari dunia pendidikan formal karena
situasi sosial ekonomi yang dihadapi orangtuanya, yang kemudian
mengimbas pada perkembangan pemikiran dan sikapnya.

Jalanan yang menjadi tempatnya bertumbuh selama dua tahun
mengajarinya hal lain yang digelutinya selama di ruang kelas di
bangku sekolah formal. Upaya mempertahankan hidup tidak terjawab oleh
apa yang ia dapatkan di ruang kelas. Di antara derum mobil,
kebisingan, caci maki, rasa curiga, dan kebencian, ia menyimpan
segudang pertanyaan kritis mengenai apa dan siapa dirinya; mengapa
dan bagaimana ia sampai pada kehidupan seperti itu.

***
"SAYA beruntung menemukan komunitas teman senasib di sanggar,"
lanjutnya. Saat ini Heru adalah Koordinator Sanggar Akar, suatu media
di tingat komunitas basis.

Sanggar Akar yang berdiri enam tahun lalu sebagai bagian dari
basis komunitas Biro Advokasi Anak Institut Sosial Jakarta, saat ini
berdiri sendiri dan mengembangkan model pendidikan alternatif untuk
komunitas anak pinggiran; suatu model yang samasekali lain dari apa
yang selama ini mendominasi wacana berpikir mengenai pendidikan.

Istilah "anak pinggiran" belum banyak dipahami karena orang
terbiasa mendengar atau menggunakan istilah atau kategori yang
bersifat fungsional seperti "anak jalanan", "pekerja anak" atau "anak
telantar" untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup dalam kondisi
lingkungan yang kurang wajar.

Padahal, seperti dikemukakan penanggung jawab Sanggar Akar, Ibe
Karyanto, substansi atau akar persoalan tidak tercakup dalam kategori
yang bersifat fungsional itu. Kata pinggiran, menunjuk pada kondisi
akibat dari pola kebijakan pemerintah dan tatanan masyarakat yang
tidak adil itu. Pinggiran juga mengacu pada proses pembangunan yang
menjauhkan anak dari hak-hak dasarnya yang mencakup hak kelangsungan
hidup, hak untuk berkembang, hak untuk memperoleh perlindungan dan
hak untuk berpartisipasi.

Dengan demikian, dalam istilah "anak pinggiran" dikandung maksud
yang lebih substantif menyangkut ketidakadilan yang dilakukan
pemerintah dan masyarakat umum, yakni ketidakadilan struktural,
kultural dan tindakan represi fisik.

Selama bertahun-tahun dominasi dibangun dari kerangka berpikir
penguasa yang cenderung mengambil jarak dengan persoalan dalam
masyarakat. Ibe menegaskan, kekuasaan pula yang menanamkan pemahaman
bahwa kondisi buruk yang ditanggung anak-anak pinggiran merupakan
keniscayaan, yang tidak terkait dengan kebijakan di tingkat makro
yang diputuskan segelintir elite politik, teknokrat, dan birokrat.

"Ini diperlihatkan dengan jelas oleh Pak X," Ibe menyebut seorang
pejabat kantor Menko Kesra (pada masa Orde Baru), "Dalam Konferensi
Regional Pertama tentang Anak Jalanan di Filipina tahun 1989 Pak X
mengatakan bahwa perilaku dan keberadaan anak-anak jalanan merupakan
penyimpangan sosial atau social disfunction."

Penggunaan kata "penyimpangan" itu secara jelas menunjukkan sikap
diskriminatif. "Pemerintah tidak melihat bagaimana dan mengapa
anak-anak sampai berada di jalanan, tetapi dari posisi norma tata
sosial ideal yang diberlakukan dan diterima oleh keluarga yang mapan
dan berkecukupan," sambung Ibe.

Cara pandang seperti ini tidak berubah, sekali pun Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Bahkan RUU
Perlindungan Anak pun masih menggunakan istilah "anak bermasalah".

***
HERU, menurut Ibe, bergabung dengan komunitas Sanggar Akar
sekitar tiga tahun yang lalu, saat masih bekerja di jalanan. "Ia
sebenarnya sempat melanjutkan ke STM, dua kali pindah, tetapi
semuanya tidak bertahan lama," papar Ibe. "Ia memutuskan sendiri
untuk tidak sekolah karena merasa ada sesuatu yang lebih bisa ia
kembangkan di luar sekolah."

"Saya bilang kalau maunya begitu, ia harus tahu bahwa ia tidak
akan bisa bekerja di perusahaan atau di kantor karena lembaga-lembaga
itu membutuhkan ijazah dari sekolah formal," lanjut Ibe, "Saya juga
bilang, 'kamu harus bisa menjadi orang yang lebih dari para pencari
kerja itu. Kamu harus mampu menciptakan peluang bagi orang lain agar
mereka bisa bekerja'," Ibe menirukan pertimbangan yang ia ajukan
kepada Heru agar anak itu tahu tujuannya kemudian. Heru adalah
contoh paling tepat dari apa yang disinyalir oleh Laporan Unicef
(Dana PBB untuk Anak) tahun 1995. Dalam laporan itu disebutkan, tiga
faktor utama yang mendorong anak-anak meninggalkan bangku sekolah dan
bekerja pada usia yang dini adalah kemiskinan, pendidikan yang tidak
relevan, dan tradisi.

Kemiskinan dalam arti luas-tidak hanya ekonomi-mendorong anak
meninggalkan rumah dan memasuki lingkungan kegiatan yang
membahayakan. Jumlah anak yang dieksploitasi terus meningkat 15 tahun
terakhir seiring perkembangan kebijakan ekonomi dan moneter
internasional akibat utang, korupsi, dan krisis moneter di banyak
negara berkembang.

Program Penyesuaian Struktural (SAP), persyaratan "bantuan" Dana
Moneter Internasional (IMF), yang katanya akan "menyembuhkan" ekonomi
yang sakit di negara berkembang berarti pemotongan alokasi belanja
untuk kesejahteraan sosial yang dibutuhkan kaum miskin.

Pemotongan dana untuk kesejahteraan sosial ini juga merupakan
pukulan yang berat terhadap pendidikan, yang diyakini merupakan
alternatif mengatasi persoalan anak-anak yang bekerja di wilayah yang
membahayakan perkembangan fisik dan jiwanya. Di negara-negara yang
mengalami kesulitan ekonomi 10 tahun terakhir, dana pendidikan,
khususnya pendidikan dasar, menurun drastis, sampai 30 persen.

Sementara itu, sistem pendidikan pada banyak negara berkembang
terlalu kaku dan tidak memberikan inspirasi. Kurikulumnya tidak
relevan dan jauh dari realitas sosial kehidupan anak.

Selain itu, tradisi dan pola sosial yang berurat akar juga
memainkan peranan dalam mendorong anak masuk ke lingkungan kerja yang
membahayakan. Lingkungan yang keras telanjur diyakini sebagai bagian
dari kehidupan kaum miskin, kelas rendah dan minoritas.
***

"PERCAYA enggak kalau 'niat' ini boleh dikatakan karya dari
Sandy yang hanya lulus SD," ujar Heru memperlihatkan tabloid 12
halaman yang rubrik-rubriknya dinamai dengan kreatif.

"Sandy sendiri yang mengumpulkan bahan, ikut mengedit, membuat
lay out dan membawanya ke percetakan. Saya yakin anak lulus SMP pun
belum tentu bisa melakukan ini," lanjut Heru, "Model pendidikan di
sini membuat anak bisa mengeksplorasi apa yang ia miliki."

Beberapa dari 20-an anak yang saat ini aktif di Sanggar Akar,
sampai empat tahun lalu masih bisa dijumpai di jalanan. Gendut, yang
sekarang bertanggung jawab pada salah satu bidang kerja di sanggar,
sejak usia sembilan tahun berada di jalanan. Ia berasal dari Tegal.
Lalu ada Joni dari Medan, Prei dari Semarang, Openg dari Palembang,
dan Pian dari Jakarta. Selama bertahun-tahun anak-anak itu
menggelandang dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke
kota lain, mereguk kebebasan sekaligus bahaya kehidupan jalanan.
Usia mereka sebaya. Selain anak-anak ini, juga banyak anak-anak yang
berada di jalanan, tetapi masih pulang ke rumah orangtuanya.

Latar belakang yang berlainan yang mempengaruhi gaya hidup ini
membuat komunitas anak pinggiran itu, meski pun berada pada satu
strata yang sama, namun Ibe dan kawan-kawannya mengamati, dalam skala
kecil selalu terjadi kompetisi; yang satu merasa lebih dibandingkan
yang lainnya. Perseteruan ini membuat jebakan pada arus pemikiran
yang mengkotak-kotakkan dan merupakan gejala permukaan dari model
sistem fragmentasi masyarakat.

"Kami kemudian berupaya menyatukan kelompok anak-anak itu," jelas
Ibe. "Tujuannya bukan untuk menyeragamkan mereka, tetapi mengajak
anak-anak secara bersama-sama belajar untuk mengerti substansi
persoalan yang dihadapi, yakni proses dehumanisasi."

Visi gerakan pendidikan ini berangkat dari refleksi atas
pengalaman aktual keterlibatan, compassion pada ketidakadilan yang
dihadapi, sekaligus harapan yang ingin dibangun sebagai dimensi masa
depan. "Kenyataan penderitaan anak-anak ini mengundang compassion,
keterlibatan mereka memberikan pengalaman, pengalaman melahirkan
kesadaran baru yang membangkitkan harapan pembebasan, cita-cita dunia
yang lebih baik," papar Ibe.

Mengutip Paulo Freire, tokoh pendidik dari Brasil, Ibe menyakini
bahwa proses lahirnya kesadaran akan pembebasan hanya mungkin
terwujud kalau refleksi sungguh-sungguh diposisikan sejajar dengan
seluruh aktivitas dalam gerakan keterlibatan.

Dengan demikian, misi keterlibatan merupakan sesuatu yang
menunjukkan tindakan atau proses. "Dalam konteks ini, Sanggar
menempatkan misi sebagai tindakan untuk membuka ruang dan memberikan
peluang bagi anak-anak untuk menjadi bagian dari kelompok masyarakat
yang terlibat dalam proses pembebasan, yaitu membangun sebuah dunia
yang lebih baik," ujarnya.

Karena itu, dalam kampanye perlindungan hak anak, terutama pada
gerakan pendidikan untuk anak pinggiran, tidak mengiba, atau
mengharapkan belas kasihan dengan mengedepankan penderitaan anak-
anak, tetapi lebih diarahkan pada model publikasi hasil dari tahapan
sebuah proses yang sedang berjalan.

***
DI Sanggar ini, jangan heran kalau anak-anak seusia 10-12 tahun
telah mampu berpikir kritis. Atin, kelas VI SD dan adiknya Nina,
kelas V, bisa membuat perbandingan antara film Heaven (Iran), Not One
Less (Cina), dan Petualangan Sherina (Indonesia).

Ini baru salah satunya. Seluruh materi seperti sejarah,
matematika, bahasa, lingkungan hidup yang disusun bersama sahabat
Sanggar Akar, seperti Hilman Faried, John Roosa, Razif dari Jaringan
Kerja Budaya, memang diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih luas,
seperti tanggung jawab pribadi, usaha mandiri, dan kreatif; tanggung
jawab sosial menyangkut kepekaan sosial, serta sumbangan pada
pengembangan masyarakat; dan tanggung jawab pada alam.

Seluruh mata pelajaran juga ditujukan untuk mengasah kekritisan
anak; termasuk dalam membaca buku pelajaran. Di antara para relawan
pengajar terdapat pematung terkemuka, Dolorosa Sinaga.

Prinsip hubungan guru-murid adalah keterbukaan dan kesetaraan,
karena gerakan pendidikan ini menolak prinsip anak sebagai tabula
rasa yang diperkenalkan oleh John Locke. Selama belajar, anak tetap
merupakan individu bebas, tetapi bukan tanpa disiplin. Di dalam
kelas, yang berlaku bukan disiplin yang kaku, tetapi semacam
tutorial. Orientasinya bukan ketaatan, tetapi pada komitmen. Disiplin
seperti ini diyakini akan mendorong motivasi dan kesadaran belajar.
Tak hanya diterapkan pada anak, tetapi juga guru.

"Dalam gerakan ini pendidikan merupakan sebuah proses. Anak-anak
dan kami akan terus berproses, berkembang dan kami berharap gerakan
ini akan menjadi milik publik," ujar Ibe. (mh)

ANAK PINGGIRAN BUKAN ANAK PENGIBA

KOMPAS, Kamis, 13-05-1999.

JANGAN lagi pakai istilah anak jalanan, kalau Anda tak ingin
diumpat. Sebab "anak jalanan" kini punya konotasi "anak yang berada
di jalan" untuk mengemis, mengiba-iba dengan ecrek-ecrek tutup botol,
yang perlu dikhotbahi oleh Rano Karno "boleh kerja di jalan asal tetap
sekolah". Yang oleh Depsos dan pemda dianggap perlu ditertibkan di
rumah singgah atau pesantren.

Ada pula yang melabel anak jalanan sebagai "teroris" di perempatan
jalan, yang jika tidak dikasih duit maka mobil Anda dicoret paku.
Malah
ada yang bikin generalisasi bahwa pencongkel kaca spion mobil mewah
adalah anak jalanan.

Tidak semua anak jalanan adalah pengemis atau teroris. Yayasan
Anak Merdeka di Bandung pimpinan Nugroho GPH terbukti berhasil
mengajak anak-anak jalanan untuk melukis dan membuat kerajinan serta
menerbitkan tabloid Bebas yang mereka kelola dan isi sendiri.

Begitu pula dengan Yayasan Lembaga Pengkajian Sosial (YLPS) Humana
alias "Girli" di Yogyakarta pimpinan A Didit Adidananta yang tidak
mengindoktrinasi anak-anak jalanan untuk jadi anak "baik-baik"
dan "normal", namun malah membebaskan mereka berkreasi dan
berekspresi. Majalah Jejal yang mereka terbitkan mencerminkan filosofi
calistung (pemberantasan buta kemampuan dasar) yang sifatnya
partisipatif. Beberapa anak "Girli" malah jadi bintang film dan
bermain dengan prima di film Daun di Atas Bantal.

Bandingkan pula dengan anak-anak yang tergabung dalam Sanggar
Anak akar Institut Sosial Jakarta (ISJ), yang serius belajar main
gitar, rebana, menyanyi dan tampil berteater. Mereka ini lebih bangga
menyebut diri sebagai "anak pinggiran", karena selain ada yang memang
benar-benar "berprofesi" sebagai anak jalanan, ada pula anak
perkampungan kumuh dan dari keluarga miskin.

Panggilan "anak pinggiran" lebih menyiratkan cibiran kepada mereka
yang berpunya dan berkuasa karena mereka inilah yang biasa
meminggirkan
anak-anak yang kurang beruntung. Anak pinggiran bukanlah anak pengiba-
iba yang mengharap belas kasihan atau yang cuma meratapi nasib jika
kena penertiban aparat.

Inilah metamorfosis yang dialami Ibe Karyanto, pengasuh Sanggar
Anak akar. Empat tahun lalu ketika ia mementaskan karyanya, operet
Nyanyian Ranting Kering, lagu-lagunya bernada sendu dan masih pakai
kata "anak jalanan" yang mengharapkan untuk dipahami, sementara pada
pementasan Muka-muka di Kaca hari Selasa (11/5) lagu-lagunya lebih
gagah, tegar dan sarat dengan elan vitalea "anak pinggiran". Keduanya
dipentaskan di tempat terhormat, yaitu di Graha Bakti Budaya Taman
Ismail Marzuki (TIM).

Dengar saja lagu Anak Pinggiran yang juga menjadi judul kaset
lagu-lagu pengisi Muka-muka di Kaca: Inilah cerita anak
pinggiran/menggenggam sebuah harapan/tegar niatnya menantang isi
kota/ingin wujudkan cita-citanya/tak pernah takut dan tak pernah
surut/walau dikurung duka/hidup ceria walau orang suka
menyingkirkannya.
***

MENYAKSIKAN pementasan Atin, Dini, Kris, Sugi, Ucil, dan
kawan-kawannya yang kebanyakan masih kelas tiga sampai lima SD,
sungguh berbeda dengan menonton video klip Joshua yang begitu
artifisial dan komersial. Anak-anak Sanggar akar ini lebih lugu dan
alami. Atin misalnya, tak merasa sungkan untuk menggaruk kaki yang
gatal karena gigitan nyamuk atau menyerahkan mikrofon ke temannya
karena ia sudah kecapaian. Mereka juga mengakui bahwa mereka terkadang
tak mengerti pada sebagian lirik lagu-lagu yang mereka nyanyikan.

Berbeda dengan penampilan anak-anak yang lebih spontan dan
lantang, para pemain dewasa yang mendukung Muka-muka di Kaca justru
agak kedodoran akting dan vokalnya. Tema cerita yang menokohkan
pejabat kaya-raya Hartono dan istrinya yang suka foya-foya, terkesan
agak "hitam-putih". Simak saja lagu Ciptaan yang dinyanyikan Atin dan
kawan-kawannya: Kami bukan yang paling benar/kami juga manusia yang
sama/hanya karna tak punya kuasa/jadilah kami selalu dimangsa.

Betapapun, anak-anak pinggiran asuhan ISJ telah menunjukkan
dengan bernyanyi dan berpentas mereka meraih lagi percaya diri dan
martabat. Sebagai anak-anak pinggiran pun mereka berhak ikut memiliki
dan mewarisi negeri ini. Ini tercermin pada tekad mereka lewat lagu
Saatnya Kami Bicara: Tetapi aku takkan sekalipun/merunduk tunduk dan
mengalah pada duka/saatnya pastikan tiba/aku harus bicara/tuk merebut
semua milikku.

Mudah-mudahan tidak ada pejabat yang lantas mewaspadai karya
sanggar ISJ ini berbau marhaenis, apalagi Marxis... (ij)

ANAK PINGGIRAN BUKAN ANAK PENGIBA


KOMPAS, Kamis, 13-05-1999.

JANGAN lagi pakai istilah anak jalanan, kalau Anda tak ingin
diumpat. Sebab "anak jalanan" kini punya konotasi "anak yang berada
di jalan" untuk mengemis, mengiba-iba dengan ecrek-ecrek tutup botol,
yang perlu dikhotbahi oleh Rano Karno "boleh kerja di jalan asal tetap
sekolah". Yang oleh Depsos dan pemda dianggap perlu ditertibkan di
rumah singgah atau pesantren.

Ada pula yang melabel anak jalanan sebagai "teroris" di perempatan
jalan, yang jika tidak dikasih duit maka mobil Anda dicoret paku.
Malah
ada yang bikin generalisasi bahwa pencongkel kaca spion mobil mewah
adalah anak jalanan.

Tidak semua anak jalanan adalah pengemis atau teroris. Yayasan
Anak Merdeka di Bandung pimpinan Nugroho GPH terbukti berhasil
mengajak anak-anak jalanan untuk melukis dan membuat kerajinan serta
menerbitkan tabloid Bebas yang mereka kelola dan isi sendiri.

Begitu pula dengan Yayasan Lembaga Pengkajian Sosial (YLPS) Humana
alias "Girli" di Yogyakarta pimpinan A Didit Adidananta yang tidak
mengindoktrinasi anak-anak jalanan untuk jadi anak "baik-baik"
dan "normal", namun malah membebaskan mereka berkreasi dan
berekspresi. Majalah Jejal yang mereka terbitkan mencerminkan filosofi
calistung (pemberantasan buta kemampuan dasar) yang sifatnya
partisipatif. Beberapa anak "Girli" malah jadi bintang film dan
bermain dengan prima di film Daun di Atas Bantal.

Bandingkan pula dengan anak-anak yang tergabung dalam Sanggar
Anak akar Institut Sosial Jakarta (ISJ), yang serius belajar main
gitar, rebana, menyanyi dan tampil berteater. Mereka ini lebih bangga
menyebut diri sebagai "anak pinggiran", karena selain ada yang memang
benar-benar "berprofesi" sebagai anak jalanan, ada pula anak
perkampungan kumuh dan dari keluarga miskin.

Panggilan "anak pinggiran" lebih menyiratkan cibiran kepada mereka
yang berpunya dan berkuasa karena mereka inilah yang biasa
meminggirkan
anak-anak yang kurang beruntung. Anak pinggiran bukanlah anak pengiba-
iba yang mengharap belas kasihan atau yang cuma meratapi nasib jika
kena penertiban aparat.

Inilah metamorfosis yang dialami Ibe Karyanto, pengasuh Sanggar
Anak akar. Empat tahun lalu ketika ia mementaskan karyanya, operet
Nyanyian Ranting Kering, lagu-lagunya bernada sendu dan masih pakai
kata "anak jalanan" yang mengharapkan untuk dipahami, sementara pada
pementasan Muka-muka di Kaca hari Selasa (11/5) lagu-lagunya lebih
gagah, tegar dan sarat dengan elan vitalea "anak pinggiran". Keduanya
dipentaskan di tempat terhormat, yaitu di Graha Bakti Budaya Taman
Ismail Marzuki (TIM).

Dengar saja lagu Anak Pinggiran yang juga menjadi judul kaset
lagu-lagu pengisi Muka-muka di Kaca: Inilah cerita anak
pinggiran/menggenggam sebuah harapan/tegar niatnya menantang isi
kota/ingin wujudkan cita-citanya/tak pernah takut dan tak pernah
surut/walau dikurung duka/hidup ceria walau orang suka
menyingkirkannya.
***

MENYAKSIKAN pementasan Atin, Dini, Kris, Sugi, Ucil, dan
kawan-kawannya yang kebanyakan masih kelas tiga sampai lima SD,
sungguh berbeda dengan menonton video klip Joshua yang begitu
artifisial dan komersial. Anak-anak Sanggar akar ini lebih lugu dan
alami. Atin misalnya, tak merasa sungkan untuk menggaruk kaki yang
gatal karena gigitan nyamuk atau menyerahkan mikrofon ke temannya
karena ia sudah kecapaian. Mereka juga mengakui bahwa mereka terkadang
tak mengerti pada sebagian lirik lagu-lagu yang mereka nyanyikan.

Berbeda dengan penampilan anak-anak yang lebih spontan dan
lantang, para pemain dewasa yang mendukung Muka-muka di Kaca justru
agak kedodoran akting dan vokalnya. Tema cerita yang menokohkan
pejabat kaya-raya Hartono dan istrinya yang suka foya-foya, terkesan
agak "hitam-putih". Simak saja lagu Ciptaan yang dinyanyikan Atin dan
kawan-kawannya: Kami bukan yang paling benar/kami juga manusia yang
sama/hanya karna tak punya kuasa/jadilah kami selalu dimangsa.

Betapapun, anak-anak pinggiran asuhan ISJ telah menunjukkan
dengan bernyanyi dan berpentas mereka meraih lagi percaya diri dan
martabat. Sebagai anak-anak pinggiran pun mereka berhak ikut memiliki
dan mewarisi negeri ini. Ini tercermin pada tekad mereka lewat lagu
Saatnya Kami Bicara: Tetapi aku takkan sekalipun/merunduk tunduk dan
mengalah pada duka/saatnya pastikan tiba/aku harus bicara/tuk merebut
semua milikku.

Mudah-mudahan tidak ada pejabat yang lantas mewaspadai karya
sanggar ISJ ini berbau marhaenis, apalagi Marxis... (ij)